Rabu, 29 Agustus 2012

Mengapa Guru Harus Menulis

Sumber: hafismuaddab.wordpress.com/tag/guru-penulis/ insGuru yang baik adalah guru yang menulis. Tulisan adalah senjata efektif untuk mengkritisi sekaligus solusi permasalahan di negeri. Kata-kata lebih tajam daripada senjata, lihat saja tulisan Ki hajar Dewantara dengan Alks in Netherland Was yang mampu menggugah parlemen Belanda untuk mengakhiri politik tanam paksanya di Indonesia. Namun mengapa banyak orang tidak sanggup untuk menulis? Jawabnya mudah saja. Karena keterampilan ini hanya bisa muncul kalau kita banyak membaca buku dan menjadi pendengar yang baik. Menulis dan membaca adalah satu kesatuan utuh. ”Itu sudah hukumnya”, kata Mas Hernowo penulis buku best seller “Mengubah Sekolah”. Artinya, membaca dan menulis merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan,. saling memberi dan menerima (take and give). Pertanyaan yang ada kemudian adalah mengapa seorang guru harus menulis? Salah satu yang dapat dijadikan alasan adalah peraturan baru yang mewajibkan guru dari golongan III/b diwajibkan membuat karya pengembangan profesi minimal 2 untuk bisa naik pangkat ke golongan III/c. Dari golongan III/c ke III/d minimal 4 angka kredit pengembangan profesi. Golongan III/d ke IV/a = 6, Golongan IV/a ke IV/b = 8, IV/b ke IV/c = 10, IV/c ke IV/d = 12, dan IVd ke IV/e =14. Jika peraturan tersebut telah benar-benar diberlakukan, maka sudah saatnya bagi guru golongan III untuk memulai melakukan pengembangan profesi, yang salah satunya dapat dilakukan dengan membuat karya tulis ilmiah.Namun apakah hanya karena aturan itu saja, mengapa seorang guru harus menulis. Lebih jauh mari kita kupas manfaat menulis bagi seorang guru, sehingga terdapat alasan yang kuat mengapa seorang guru harus membiasakan diri menulis. Menghitung Manfaat Menulis Kalau ditelisik lebih jauh, manfaat menulis di media massa cukup banyak. Pertama, ini kiranya yang terpenting, yakni untuk mendapatkan nilai kredit (credit point) bagi profesinya sebagai guru. Dengan menulis guru yang bersangkutan akan mendapatkan nilai angka kredit, dan ini berdampak langsung bagi karier/kepangkatan. Kedua, dengan menulis seorang guru dapat meningkatkan kepercayaan dirinya. Tulisan-tulisan yang berhasil dimuat di media massa bisa lebih meyakinkan dirinya lagi bahwa ia memiliki kualitas. Tulisan-tulisan itu dapat menjadi bukti nyata dari kualitas dan kapabilitasnya sebagai seorang pendidik. Ketiga, dengan menulis secara kontinyu, berarti seorang guru telah mengedukasi masyarakat. Jadi, guru tak hanya mendidik para siswa di sekolah, bahkan juga menjadi ‘guru’ bagi masyarakat. Dengan menulis, para guru yang penulis dapat berbagi (sharing) kepada masyarakat pembaca melalui ide-ide yang dituangkan ke dalam artikelnya. Alangkah menyenangkan kalau melalui artikel-artikelnya di media cetak para guru juga bisa berbagi kepada masyarakat luas, bukan? Masyarakat kita tentu akan semakin cepat meningkat kecerdasan dan meningkat pula pengetahuannya melalui bantuan para guru yang penulis. Keempat, dengan menulis seorang guru akan mendapatkan tambahan penghasilan dari honorarium yang diterima atas dimuatnya tulisannya di koran atau majalah. Sebutlah, misalnya, dalam sebulan ia dapat meloloskan artikelnya sebanyak 4 buah di sebuah media nasional. Andaikan honor setiap artikel itu sebesar Rp.250.000 rupiah. Jadi, dalam sebulan ia akan mendapatkan tambahan penghasilan satu juta rupiah. Lumayan untuk menambah isi kantong, bukan? Kelima, dengan menulis, seorang guru akan meningkatkan kecerdasan atau intelektualitasnya. Mengapa? Karena, untuk menulis, ia mesti menggali berbagai sumber informasi yang relevan. Aktivitas ini berdampak langsung terhadap peningkatan kemampuan intektual dan daya imajinasinya. Diperlukan Komitmen Banyak sekali alasan yang bisa dipakai sebagai dalih bagi seseorang untuk menolak atau menghindari kegiatan menulis. Seperti disebutkan di awal, kesibukan-kesibukan yang padat menjadi alasan pamungkas untuk tak menyentuh aktivitas menulis. Alasan-alasan itu menjadi sah dan masuk akal. Akan tetapi, menurut penulis, yang diperlukan sesungguhnya adalah komitmen. Artinya, ada tekad dari para guru untuk meluangkan waktu di sela-sela kesibukan mereka untuk menuangkan gagasan ke dalam bentuk karya tulis untuk media massa. Kalau seseorang berkomitmen, maka tidak akan ada alasan lagi baginya untuk menghindari aktivitas tulis-menulis. Komitmen itu seperti sebuah janji kepada diri sendiri. Dengan kata lain, diperlukan ‘kebulatan tekad’ untuk menulis dan menjadi penulis. Selanjutnya, guna mendukung kegiatan ini diperlukan pembiasaan menggali pengetahuan dari berbagai sumber. Buku, majalah, koran, internet, radio, siaran televisi, dan berbagai bentuk sumber informasi lainnya dapat dipakai sebagai bahan mentah untuk diolah menjadi tulisan. Oleh karena itu, guru yang (calon) penulis mesti rajin membaca, mendengar, menonton, dan mencatat. Keempat aktivitas ini akan memampukan seseorang untuk menjadi penulis yang baik. Menulis adalah kegiatan merangkai gagasan ke dalam sebuah karya dengan menggunakan huruf, angka, kata, kalimat, dan data. Orang tak mungkin menghasilkan sebuah tulisan yang berbobot dari pikiran kosong, bukan? Mereka yang tidak terbiasa menulis atau mengarang tentu akan merasakan kesulitan pada awalnya. Akan tetapi, ketika aktivitas ini sudah menjadi kebiasaan, maka ini akan menjadi mudah. Jadi, tak perlu terlalu dikhawatirkan. Kita mungkin masih ingat ketika awal belajar mengemudikan kendaraan, baik mobil maupun sepeda motor. Pada mulanya amat susah, bukan? Tapi, setelah berlatih secara kontinyu, mengatasi berbagai kesulitan, segalanya kemudian menjadi mudah, bagai aktivitas yang berlangsung otomatis. Apalagi mengingat guru adalah intelektual yang rata-rata berpendidikan tinggi. Potensi ini kalau dimanfaatkan dengan baik akan dapat mengantarkannya menjadi penulis andal. Kalau dalam proses tersebut ada sejumlah masalah yang berkenaan dengan kesulitan mendapatkan ide-ide yang bakal ditulis, pasti akan dapat diatasi. Dengan membaca, menonton, mendengar, dan mencatat dengan rajin, niscaya para guru akan mendapatkan gagasan-gagasan berharga untuk dituangkan ke dalam tulisan. Kalau, misalnya, persoalannya terletak pada pemakaian tata bahasa, ejaan, diksi, dan gaya bahasa, atau yang sejenis, ada banyak buku yang dapat dijadikan acuan. Kalau terkendala dengan waktu, dengan komitmen yang tulus, tentu waktu itu dapat diatur dan dapat diluangkan khusus untuk menulis. Aktivitas tulis-menulis sudah pasti bermanfaat, baik bagi guru maupun masyarakat. Jalan menuju ke dunia tulis-menulis pun terbuka lebar bagi para guru kita. Maka, tinggal satu langkah lagi : memulainya sekarang juga.

0 komentar:

Posting Komentar